MASIH bicara soal pelacuran. Kabarnya ada nenek masih menjajakan diri jadi pelacur, di Jakarta Utara. Ah, apakah ini berita baru? Nggak juga. Karena pelacur itu ya seperti angkatan kerja, dari yang belia sampai yang tua. Cuma pertanyaannya adalah, mengapa sampai tua itu masih melacur. Kok, nggak pensiun, gitu?
Jawabannya ya klise. Pasti soal ekonomi, nggak melacur, nggak makan? Begitukah? Ah, seharusnya nggak begitulah. Banyak pekerjaan yang bisa dilakukan selain melacur. Yakni pekerjaan yang halal, toyyiban. Misalnya, buruh, berdagang, atau apalah.
Banyak contoh, itu ada nenek tua renta mencari rezeki yang halal sepanjang hidupnya, menggendong bakul atau bahkan mendorong gerobak dagangan, keliling kampung. Menjual sayuran, buah-buahan atau kue yang dia buat sendiri.
Masalahnya, mungkin pekerjaan melacur yang sudah dilakukan sejak muda itu terlalu enak. Nggak perlu panas-panasan, hanya menjajakan diri di tempat tempat tertentu, sementara si hidung belang langganan datang. O iya, siapa langganan bagi si pelacur tua? Hemm, ini juga yang menyebabkan bikin Wali kota Surabaya pada waktu itu menggusur pelacuran Dolly. Kenapa? Ya, itu ternyata banyak remaja lelaki usia SMP yang jadi langganan pelacur tua? Memprihatinkan.
Tapi pelacur di Koja itu, langgananya ya lelaki dewasa, yang kelas teri karena tarifnya cukup murah Rp75 ribu. Yang jadi masalah adalah bukan soal tarif atau kelasnya, tapi bagaimana dia tetap bertahan menjakan diri?
Mereka nggak mampu, nggak mau berubah untuk mengentaskan diri. Padahal umur sudah tua, yang seharusnya sudah saatnya untuk sadar. Kayaknya campur tangan pemerintah, jangan setengah-setengah, serius. Beri pendidikan untuk bekal sisa hidupnya. “Nek, berhentilah melacur. Malu sama anak cucu!” -massoes
http://poskotanews.com/2018/10/27/nek-berhentilah-melacur/Bagikan Berita Ini