Sejarah, Fakta, dan Mitos Tahun Kabisat 2020
CNN Indonesia | Kamis, 02/01/2020 10:59 WIB
Jakarta, CNN Indonesia -- Tahun 2020 merupakan tahun kabisat. Tahun kabisat sendiri adalah tahun yang habis dibagi empat dan habis dibagi 400. Tahun kabisat disebut-sebut punya keistimewaan karena hanya muncul empat tahun sekali.Pada tahun kabisat 2020 ini akan bertambah satu hari. Jika sebelumnya bulan Februari hanya memiliki 28 hari, tahun kabisat punya tanggal 29 Februari.
Dilansir dari berbagai sumber, tahun kabisat diambil dari bahasa arab, yakni kabisah yang artinya melompat. Melompat yang dimaksud ini adalah perpindahan dari tanggal 28 Februari ke 1 Maret pada tahun di luar kabisat. Atas fakta itu, tahun kabisat sering digambarkan dengan simbol katak.
Berbeda dengan Indonesia, tahun kabisat di negara lain lebih masyhur dengan nama Leap Year. Malaysia dan Singapura adalah beberapa negara yang menggunakan Leap Year, merujuk sistem penamaan Inggris dan negara-negara Eropa dan Amerika lainnya.
Dari sisi sejarah, tahun kabisat dicetuskan oleh astronom bernama Sosigenes Alenxandria yang hidup di zaman kepemimpinan Julius Caesar pada masa Romawi, tepatnya tahun 1500 Masehi.
Hasil hitung-hitung Sosignes kala itu, bumi membutuhkan waktu selama 365 hari, 5 jam, 48 menit dan 45 detik untuk mengelilingi matahari dalam orbitnya.
Untuk memudahkan hitungan, satu tahun dibulatkan menjadi 365 hari. Kelebihan sekitar enam jam dalam satu tahun itu digabungkan di tahun keempat sebagai satu hari (6 jam x 4 = 24 jam/hari).
Lalu kenapa dipilih Februari? Awalnya, bulan Februari memiliki jumlah hari 29 hari per bulan. Dan di tahun kabisat, setiap empat tahun sekali, Februari akan memiliki jumlah hari 30.
Hanya saja, saat August Caesar menggantikan tahta Julius Caesar, dia mengganti bulan salah satu bulan di penanggalannya menjadi bulan August (Agustus).
Jatah hari di bulan Agustus yang harusnya hanya 30 hari, ditambahkan sehari menjadi 31. Bulan yang dikorbankan untuk 'dicomot' harinya adalah bulan Februari.
Untuk itu, Februari yang awalnya berjumlah 29 hari berkurang sehari menjadi 28 hari di penanggalan reguler (non kabisat).
Mengapa harus Februari? Ternyata bukan tanpa alasan jumlah hari di bulan Februari 'dicomot.' Dalam kalender yang digunakan di zaman itu, Februari adalah bulan terakhir dalam satu tahun.
Februari jadi bulan terakhir karena King Numa Pompilius menambahkan bulan Januari dan Februari untuk melengkapi 10 bulan yang sudah ada sebelumnya demi 'memperbaiki' jumlah hari yang ada setahun.
Karena Februari adalah bulan terakhir, maka ini adalah sasaran empuk untuk mengambil sehari dari jumlah hari yang dimilikinya. Penamaan bulan ini sudah dibuat sejak tahun pemerintahan King Numa Pompilius.
Dalam perkembangannya, sistem penanggalan ini pun kembali diperbaiki. Termasuk penyusunan nama bulan sampai jadi seperti sekarang ini.
Penyesuaian kriteria kalender kabisat pun juga diperbaiki. Setelah dipakai selama 1500 tahun, penanggalan ini kembali menimbulkan masalah. Pasalnya, setelah 1500 tahun, kesalahan penghitungan ini jadi selisih 10 hari, menurut perhitungan dokter Aloysius Lilius, astronomer Italia abad ke-16.
Akhirnya Paus Gregorius XIII mengubah ketentuan penambahan dan membuat kalender Gregorian. Dalam aturan ini mereka memutuskan untuk menerapkan kriteria tahun kabisat.
Melalui penetapan ini, tahun kabisat adalah tahun yang habis dibagi empat. Hanya, ini tak berlaku untuk abad baru atau kelipatan 100, tahunnya harus habis dibagi 400. Penanggalan ini diresmikan pada tahun 1582.
Meski demikian, penanggalan kabisat seperti ini pun belum 100 persen akurat. Dalam kurun waktu ribuan tahun lagi, perhitungan ini akan kembali meleset satu hari.
Berikut 10 fakta dan mitos yang dihimpun CNNIndonesia.com seputar tahun kabisat:
1. Inggris Pernah Kehilangan Hari
Inggris pernah kehilangan 11 hari pada tahun 1752 di bulan September. Di bulan itu, kalender melompat dari tanggal 2 langsung ke tanggal 14. Dengan kata lain, tanggal 3-13 tidak tercantum dalam kalender.
Hal ini terjadi karena sistem penanggalan pada waktu itu, terutama di kepulauan Inggris dan koloni Inggris, termasuk Amerika, menggunakan kalender cacat warisan perhitungan Sosiogenes, kalender Julian.
Padahal, sebagian besar dunia sudah mengikuti sistem penanggalan baru, yang disebut kalender Gregorian, arahan Paus Gregorius XIII, yang ditetapkan pada tahun 1582.
Inggris yang waktu itu menolak mengikuti perintah Roma, akhirnya kena tulah. Di negara mereka, waktu langsung melompat 11 hari yang menimbulkan kerusuhan di masyarakat.
Kerusuhan itulah yang akhirnya membuat Inggris mengubah sistem penganggalan menggunakan kalender Gregorian, hingga kini.
2. Tradisi Lamaran di Irlandia-Skotlandia
Di abad ke-lima, di Irlandia, terdapat tradisi unik, dimana wanita diperbolehkan melamar kekasihnya pada Hari Kabisat, yakni tanggal 29 Februari.
Hal ini dipicu ketidaksabaran St. Bridget. Dia mengajukan mosi pada St. Patrick, karena merasa kaum laki-laki membutuhkan waktu terlalu lama untuk melamar kekasih mereka. Oleh karena itu, St. Patrick memberi waktu satu hari di tanggal 29 Februari bagi wanita untuk melamar pujaan hati mereka.
Legenda menyebut, di hari itu Bridget langsung menekuk satu lutut dan melamar Patrick. Sayangnya, Patrick menolak. Dia mencium Bridget di pipi dan memberinya gaun sutra.
Legenda St. Bridget ini kemudian dikekalkan oleh Ratu Margaret dari Skotlandia. Pada tahun 1288, ketika sang ratu baru berusia 5 tahun, dia menyebutkan bahwa 29 Februari seharusnya jadi hari kebesaran bagi wanita, dimana mereka bisa melamar siapapun yang mereka inginkan.
Sementara, pria yang menolak lamaran harus membayar denda seperti yang dilakukan St. Patrick, yakni memberi ciuman dan gaun sutra.
3. Denda untuk Penolak Lamaran di Tahun Kabisat
BACA HALAMAN BERIKUTNYAHalaman Selanjutnya >>>>
Bagikan Berita Ini