KEPUTUSAN KPU yang membolehkan penderita gangguan jiwa ikut Pemilu 2019, sempat bikin geger hingga muncul tudingan memobilisasi orang gila. Wajar saja masyarakat heboh. Dalam persepsi masyarakat, penderita gangguan jiwa yang dulu dijuluki ‘orang gila’ alias orgil, jelas tak punya nalar. Apa mungkin bisa memilih calon pemimpin pilihannya bila pikirannya saja tidak waras.
Tetapi faktanya, penderita gangguan jiwa, yang kini disebut sebagai ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa) memang punya hak pilih. Penyandang disabilitas mental, sama haknya dengan penyandang disabilitas fisik.
Ini setelah Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2016 lalu telah mengabulkan sebagian gugatan uji materi tentang syarat pemilih dalam UU Pilkada No.8/2015 pasal 57 ayat 3 huruf a, yang berbunyi ‘pemilih harus memuhi syarat tidak sedang terganggu jiwa atau ingatannya’.
Tapi MK menilai, frasa ‘tidak sedang terganggu jiwa atau ingatannya’ tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai mengalami gangguan ingatan permanen. Gangguan jiwa sebetulnya punya spektrum sangat luas seperti stres, paranoid, fobia dan jenis lainnya.
Bukan cuma di Indonesia, di Amerika Serikat (AS) juga hak untuk memilih bagi penyandang disabilitas mental masih menjadi kontroversi. Peneliti dari College of Physicians and Surgeons, Columbia University, AS, melakukan penelitian khusus guna mengetahui layak tidaknya pasien sakit jiwa diberi hak pilih.
Wajar bila ketika ODGJ boleh mencoblos, publik pun heboh. Bisa dibayangkan bila orang tak waras datang ke TPS, bukannya mencoblos malah membuat geger. Aatau saat masuk ke bilik suara untuk mencoblos, lalu teriak-teriak karena kebingungan.
Jangankan masyarakat umum, pengurus panti tempat pasien jiwa saja bingung dan ikut stres. Pengurus Panti Jambrut di Kota Bekasi contohnya. Pihaknya mendapat undangan nyoblos untuk 5 pasien yang sudah ‘lolos’ uji kewarasan. Mereka bingung karena pasien yang diundang nyoblos, kondisinya masih sangat parah, bicara pun masih ngawur.
Data yang dilansir KPU, jumlah pemilih yang menyandang disabilitas mental dan grahita pada Pemilu Serentak 2019 mencapai 54.295 orang. Belum bisa dipastikan, apakah mereka betul-betul sudah waras. Karenanya, penyelenggara Pemilu harus betul-betul cermat. Jangan sampai pasien belum waras disuruh mencoblos. Kasihan. -ADRI
http://poskotanews.com/2019/03/28/orang-kurang-waras-kok-disuruh-mencoblos/Bagikan Berita Ini