WARTEG, lahir di kota-kota besar, terutama di Jakarta memenuhi kebutuhan makan bagi kaum urban ketika itu. Urban yang dimaksud di sini adalah buruh kecil, penarik becak, kuli harian untuk memenuhi kebutuhan makannya dengan harga yang sangat terjangkau.
Warung Tegal mulai menjamur sekitar tahun enampuluhan di trotoar, yang belum tertata dengan baik. Malah ada yang ngasal berdiri di atas got mepet pagar rumah atau toko orang. Nah,karena lokasi dan makanan yang sangat sederhana inilah, ada sebagian yang makan di situ ngumpet-ngumpet, takut diangap nggak punya duit.
Tapi belakangan mahasiswa yang jauh dari keluarga kos sendirian, warteg jadi idola. Mau apalagi, ternyata makan di warteg sederhana itu, selain murah juga menunya sangat ramai beraneka ragam, selera Indonesia. Pastinya bikin kenyang dan murah, bisa mengirit bekal dari orang tua. Buat para buruh pun begitu, dengan penghasilan kecil bisa menyambung hidup, dan sisa gaji dikirim untuk keluarga di kampung. Okelah,pokoke wareg (kenyang)
Tapi, belakangan warteg berbenah, tempat dagang tidak lagi berdiri di trotoar, tapi sudah sejajar dengan ruko, walau tetap tidak meninggalkan bentuk dan khas warteg, bangku panjang buat duduk ramai-ramai konsumen, dengan papan nama warteg ini Itu. Menu makanan yang semakin bervariasi, enak dan lezat. Tempat bersih, dan jangan lupa pelayan wanita muda yang ayu dan bersih pula. Tapi ingat, mereka hanya sekadar melayani makan anda, jadi bukan untuk yang lain. Oke?
Konon warteg yang sudah punya nama juga dikelola secara franchise. Jadi kalau punya modal silakan beli warteg. Tinggal menjalankan, dikelola sendiri atau sebagai bos dan memetik keuntungan?
Tapi saat ini, di saat mereka bangkit dengan berbagai usaha perbaikan tempat menu dan lain-lain, eh malah datang persoalan yang sangat prinsif. Yakni harga bahan pokok melambung, terutama beras? Tentu saja ini membuat kelimpungan.
Ya, nasib pengusaha kecil. -massoes
http://poskotanews.com/2019/01/25/warteg-pokoke-wareg/Bagikan Berita Ini