Search

Teten Masduki, Anak Juragan Tepung Jadi Pembantu Jokowi

Teten Masduki, Anak Juragan Tepung Jadi Pembantu Jokowi

TOP TALKS

Yuli Yanna Fauzie, CNN Indonesia | Rabu, 08/01/2020 09:07 WIB

Jakarta, CNN Indonesia -- Siapa yang tak kenal Teten Masduki? Pegiat anti korupsi itu sukses membuka kasus suap Andi M Ghalib, eks jaksa agung era mantan presiden BJ Habibie. Bermodalkan pamor itu, ia melenggang percaya diri menjajal pemilihan gubernur Jawa Barat bersama Rieke Dyah Pitaloka, politikus PDIP pada 2012 lalu.

Sayang, langkah Teten gagal. Namun, kegagalan itu tidak berlangsung lama. Presiden Joko Widodo (Jokowi) di era Kabinet Kerja melirik Teten dan menempatkannya sebagai kepala staf kepresidenan.

Pada Oktober 2019, Jokowi kembali mempercayakan Teten untuk menjadi pembantunya sebagai Menteri Koperasi dan UKM di jajaran Kabinet Indonesia Maju. Siapa sangka, pria kelahiran Garut, 6 Mei 1963 silam tersebut ternyata akrab dengan UKM dari kecil. Sang ayah merupakan pegiat industri kecil di bidang pengolahan tapioka.

Namun, lulusan IKIP Bandung itu kadung jatuh hati menjadi aktivis. Simak kisah lengkap Teten dalam petikan wawancara berikut ini:

[Gambas:Video CNN]


Bagaimana masa kecil dan latar belakang Anda?

Saya anak ke-5 dari delapan bersaudara. Ayah saya dulu pengusaha kecil di bidang pengolahan tapioka, minyak asteri, jual beli hasil bumi. Kami dididik belajar bisnis dan usaha sedari dini. Saya sejak SMP sudah dilibatkan. Saat liburan sekolah, kami disuruh ikut mengelola, diterjunkan ke pabrik, dan belajar pengolahan yang lebih kompleks. Nah, ibu saya terlibat dalam administrasi dan manajemen perusahaan.

Kegiatan pabrik mulai dari membeli singkong menjadi tepung tapioka. Lalu, memastikan kerja setiap divisi pegawai-pegawai di pabrik agar bekerja sesuai pembagiannya, dan memastikan proses penjemuran tapioka benar. Kemudian, ketika malam memastikan bahwa tim penggilingnya jalan, pengecekan, permesinan, termasuk bahan baku.

Sebelum berkarir seperti sekarang, apa sempat terpikir untuk meneruskan usaha keluarga?

Waktu itu yang agak aneh. Ayah saya mendorong anak-anaknya untuk sekolah. Lucunya, orang tua menyarankan sebaiknya tidak masuk pegawai negeri, meskipun ada juga yang masuk, seperti saya sekarang dan kakak saya.

Sempat ada beberapa saudara yang ikut meneruskan (usaha keluarga) walau akhirnya bangkrut karena peristiwa Galunggung. Waktu itu banyak pabrik kami yang sudah saatnya menjual, tapi tiba-tiba kena musibah itu dan kami rugi besar.

Waktu itu ayah saya, dengan modal yang belum kembali, pinjam ke bank juga, modal kerja juga sudah habis. Setelah itu ayah saya sepertinya enggan untuk meneruskan bisnis. Di sisi lain, karena keluarga kami punya beberapa tanah, jadi kami hidup dari mengolah tanah di pertanian. Anak-anak kemudian didorong sekolah saja.

Nilai-nilai apa yang Anda dapat dari kedua keluarga sejak masa kecil dan terus menjadi pegangan sampai saat ini?

Basis keluarga kami keras sebenarnya, sejak kecil sudah dididik agama, mengaji, dipanggilkan ustad untuk mengajar di rumah. Jadi, nilai-nilai pertama adalah agama yang ditanamkan. Lalu juga, karena ayah saya pelaku usaha, ditanamkan rasionalitas, independensi, kejujuran, membangun relasi dengan orang secara luas, dan sebagainya.

Lepas dari keluarga, bagaimana sosok Anda di masa pendidikan? Apakah sudah ada cikal bakal sikap kritis Anda sebelum akhirnya terjun ke dunia aktivis?

Saya kuliah di IKIP Bandung. Dulu saya terkesan dengan dua orang guru. Satu di SMP, satu di SMA. Di SMP dengan Guru Biologi, di SMA dengan Guru Fisika. Itu luar biasa cara mengajarnya, sehingga bisa membuka wawasan saya, membuka pikiran. Saya bilang, saya mau nih jadi guru. Ketika ada kesempatan, tanpa tes, saya masuk IKIP. Lalu, belajar Kimia dan Matematika.

Ternyata di situ, saya mulai bersentuhan dengan mahasiswa di ITB dan Unpad. Waktu itu kampus sedang di-depolitisasi, tidak boleh berpolitik praktis. Waktu itu saya tergabung dengan berbagai kelompok diskusi, jadi yang didiskusikan adalah masalah sosial, petani, ketimpangan, dan lainnya.

Dari situ saya mulai mengenal teori-teori revolusi sosial, hukum kapitalisme, teori dependensi, itu yang paling relevan dengan negara-negara berkembang. Saya waktu mahasiswa juga sudah terhubung dengan jaringan-jaringan Asia, sudah mulai ada pertukaran pemahaman masalah di luar yang saya kira hampir sama untuk semua negara berkembang dalam menghadapi negara maju.

Kebetulan saya juga terbiasa untuk tidak bisa menutup mata pada masalah-masalah sosial, makanya saya lebih tertarik pada kegiatan aktivis di kuliah. Jadi dari yang semula ingin jadi guru. Agak bergeser. Saya punya perhatian yang lebih luas pada masalah sosial dan berlanjut.

Sebelum kuliah selesai, saya sudah ke Jakarta dengan teman-teman, ada beberapa ketua dewan mahasiswa ITB, Unpad, Unpar. Kemudian, saya diajak gabung ke lembaga studi manusia. Dari situ saya bertemu dengan teman-teman aktivis HAM yang banyak membela petani, pemberdayaan ekonomi, sehingga saya jadi aktivis juga.

Sempat mengajar di Tangerang, tapi ketika masuk golongan III B, saya mundur karena saya lebih tertarik di NGO.

Apa ada hal lain yang membuat Anda tertarik menjadi aktivis dan mengurusi persoalan HAM dan lainnya?

Sejak kecil saya sering mendengar ayah saya menghadapi pemerasan, dari (pesaing) bisnis, dari aparat pemerintah. Usaha kami suka dipersulit, banyak lah dan itu ayah saya suka cerita di meja makan atau sambil cerita, mengobrol. Saya juga waktu itu dalam politik lebih (memilih) tidak ikut mendukung partai besar, waktu itu kan Golkar ya di tahun 1970-an.

Kemerdekaan dan sikap kritis itu sudah terbangun pelan-pelan di lingkungan rumah. Kakak saya juga sudah kuliah di Bandung. Bandung kan pusat gerakan mahasiswa negeri. Jadi, dari SMP pun saya sudah mulai terkoneksi dengan gerakan mahasiswa, paling tidak dari kakak saya. Ketika mereka diskusi, saya mulai mengintip.

Lalu, bagaimana dengan ICW dan ketenaran Anda karena berhasil mengungkap kasus suap di masa itu?

Waktu itu saya sudah di LBH, saya bersama teman-teman, termasuk almarhum Munir. Jelang reformasi, kami sudah menangkap bahwa akan ada pergantian kekuasaan, jadi sebelum pemerintahan Soeharto jatuh, kami di LBH sudah dirikan dua institusi, Kontras, dan ICW menyusul di belakang.

Kenapa HAM dan anti korupsi? Karena pemerintah otoriter Orde Baru dibangun dengan kekerasan dan korupsi. Kami berpendapat walaupun pemerintahan akan ganti, tapi dua problem ini yang pasti akan menjadi masalah besar di pemerintahan. Maka saya dirikan Indonesia Corruption Watch.

Kami mulai menjaring relasi bagaimana mendapatkan informasi investigasi untuk umum. Kebetulan, dimulai dengan kasus jaksa agung.

Nama besar Anda sebagai aktivis, lalu kenapa mau masuk pemerintahan dengan menjadi kepala staf kepresidenan, lalu Menteri Koperasi dan UKM?

Saya sebenarnya eksperimen. Awalnya saya diminta menjadi calon gubernur di Jawa Barat, banyak yang tidak setuju teman-teman, tapi saya melihat sisi yang lain. Saya membaca sebuah buku yang ditulis oleh seorang profesor di Amerika, buku itu tentang kisah sukses pemberantasan korupsi di berbagai negara, saya lupa judulnya.

Ternyata sangat penting ada championship di setiap pemerintahan, bisa kepala daerah, kepala dinas, hakim, dan lainnya. Kalau ada figur yang bersih dan melakukan reformasi birokrasi, menutup berbagai penyimpangan suap, itu sebenarnya bisa cepat.

Jadi penting untuk ada figur bersih dan pemimpin di pemerintahan dari sekecil apapun, mulai dari kepala dinas, kepala daerah, kepala perpajakan atau apa, itu cepat. Jadi, ada championship, sehingga saya termotivasi.

Lalu bagaimana saat berada di pemerintahan? Apakah akhirnya mengubah pandangan Anda?

Ada mindset yang berbeda ketika sudah ada di pemerintahan. Saya beruntung bisa langsung di Istana karena pemerintahan itu beda sekali dengan aktivis. Di NGO dibagi ke lingkungan HAM, anti korupsi, jadi melihat hanya di satu view saja, kami tidak lihat sektor lain.

Tapi ketika di pemerintahan itu memang harus berubah cara pandangnya, tidak hanya satu faktor, ada berbagai faktor, harus lebih komprehensif, menggunakan helicopter view.

Dulu waktu di ICW, di NGO, lebih hitam putih, tapi ketika di pemerintahan harus terima realita yang berbeda. Saya tidak bisa hitam putih lagi. Peran saya adalah bagaimana memastikan agenda reformasi itu tetap jalan.

Saya merasa tetap sebagai representasi sipil, masyarakat sipil di Istana, dan banyak teman-teman titip banyak agenda reform, bukan hanya anti korupsi saja, tapi masalah ekonomi, lingkungan, HAM, walau memang tidak mudah di pemerintahan karena banyak cabang kekuasaan yang kita harus komit juga.

Apalagi posisi saya bukan posisi yang powerful (penuh kekuatan), saya sebagai back office-nya presiden. Sebagai advicer, tidak punya kekuasaan untuk memutuskan. Saya kira di situ kita punya seni di mana bisa memanfaatkan kekuasaan yang kecil, tapi bisa berpengaruh.

Ekonomi Kerakyatan

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

Let's block ads! (Why?)

Halaman Selanjutnya >>>>




Bagikan Berita Ini
Powered by Blogger.