Ki Manteb Soedharsono, Dalang Setengah Dewa dari Karanganyar
Jakarta, CNN Indonesia -- Dilahirkan pada 31 Agustus 1948, Ki Manteb Soedharsono seolah telah ditakdirkan menjadi dalang. Kental darah dalang dalam tubuhnya, mengalir turun temurun dari buyut hingga sang ayah, Ki Hardjo Brahim.Ki Manteb berasal dari Desa Palur, Kabupaten Sukoharjo yang berjarak 10 km dari Kota Solo.
Saat masih dalam kandungan, orang tuanya sudah hendak memberi nama Soedharsono. Namun seiring pertambahan usia kehamilan, ibunya yang bernama Soedarti mengidam rokok siong manteb, yakni rokok yang terbuat dari campuran tembakau, klembak serta kemenyan.
"Ya akhirnya nama rokok itu menjadi nama depan saya. Akhirnya lahirlah saya yang seperti ini," kata Ki Manteb kepada CNNIndonesia.com dari sofa di ruang tamu di kediamannya, Karangpandan, Karangananyar.
Sejak awal, Ki Hardjo ingin putranya jadi pedalang. Ia rajin menanamkan narasi bahwa jadi dalang bisa memiliki pendapatan cukup untuk hidup. Hal ini ternyata sejalan dengan nilai-nilai yang nyata didapat Ki Manteb di sekolah.
Mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat (setara Sekolah Dasar), mata pelajaran seni budaya Ki Manteb selalu mencatatkan nilai bagus. Berbeda dari mata pelajaran lainnya.
"Kalau saya cerita tentang wayang dan menyanyikan tembang Jawa, nilai saya bagus. Ya dalang itu sudah mendarah daging dalam diri saya, sudah 'nempak' gitu," kata Ki Manteb.
Pendidikan formal dan wayang berjalan seiring. Lulus Sekolah Rakyat, Ki Manteb lanjut ke Sekolah Teknik (setara Sekolah Menengah Pertama), lalu ke Sekolah Teknik Menengah yang setara Sekolah Menengah Atas.
Sayang, kondisi tak mengizinkan ia lulus dari STM Manahan 1. Bukan soal prestasi atau kesibukan mendalang, tetapi sekolah Ki Manteb itu bubar akibat Gerakan September Tiga Puluh (Gestapu) 1965.
![]() |
Tak bisa lagi bersekolah, Ki Manteb semakin mantap menjadi pedalang. Toh saat itu ia sudah punya pengalaman pentas, yang dimulai pada 1956 saat usianya delapan tahun. Waktu itu, ia membuka penampilan Ki Hardjo sang ayah dalam sebuah pertunjukan wayang, main selama enam jam dan mendapat Rp5. Nominal tak kecil untuk ukuran seorang bocah.
Ki Manteb tak pernah mencoba pekerjaan lain usai putus sekolah. Ia hanya memainkan wayang dan gamelan. Pada awal dekade 1970-an, ia berguru kepada dua dalang legendaris, Ki Narto Sabdo dan Ki Sudarman Gondodarsono. Ia juga kerap mencuri ilmu dari dalang-dalang lain, seperti cara nembang sampai menggerakkan wayang yang disebut sebagai 'sabetan'.
Perlahan proses itu menjadikannya jago sabet. Untuk adegan baku hantam, ia berinovasi dengan membuat beberapa sabetan baru yang terinspirasi dari film kung fu kesukaan. Ki Manteb mengaku mengidolakan Bruce Lee dan Jackie Chan.
"Dalam film Bruce Lee, pundaknya orang dipegang lalu dibuang, kemudian koprol. Saya cari cara bagaimana mengaplikasikan ini di wayang. Setelah dapat caranya, saya praktikkan, orang yang nonton tepuk tangan semua," kata Ki Manteb.
Titik balik kesuksesan Ki Manteb terjadi di dekade 1980-an. Pada 1985 ia memiliki jadwal rutin menampilkan lakon Banjaran Bima di Jakarta, dipromotori oleh Soedharko Prawiroyudo. Pagelaran yang mengisahkan kelahiran sampai kematian Bima itu diselenggarakan setiap bulan.
Ia juga sempat menjadi sutradara sandiwara radio. Dinilai pandai membuat lakon, dari situ Ki Manteb mendapat tawaran menjadi bintang iklan radio produk obat sakit kepala pada tahun 1988. Ia dikontrak dengan bayaran Rp11 juta per tahun.
Tak disangka, iklan itu meledak. Dua tahun kemudian, Ki Manteb muncul sebagai bintang iklan televisi untuk produk yang sama. Saat itu, ia diminta membuat frasa yang mengiklankan obat sakit kepala tersebut, sehingga melahirkan frasa "pancen oye" yang masih tenar hingga sampai sekarang.
Ki Manteb mulai bergerilya mempromosikan wayang ke luar negeri. Pada 1992, ia ikut B.J. Habibie yang waktu itu duduk sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi untuk acara pameran dagang di Spanyol. Wayang dan gamelan yang sengaja dibawa dari Indonesia sudah laku terjual.
"Saya ngobrol dengan Pak Habibie. Ia menjelaskan wayang bisa mendunia asal tak pernah berhenti berjuang, sama seperti membuat pesawat. Pak Habibie juga bilang 'Pak Manteb itu manusia langka'," ujarnya mengenang.
Bisa dibilang, saat itu menjadi masa keemasan Ki Manteb. Nominal yang diterima untuk mendalang pertunjukan wayang, lengkap dengan sinden dan karawitan, mencapai Rp200 juta.
Namun kondisi nyaman itu tak membuat Ki Manteb lantas berpuas diri. Ia terus melakukan gebrakan, salah satunya dengan mendalang selama 24 jam 28 menit pada 2004. Ia mendapat rekor MURI atas prestasi itu, sebuah catatan rekor yang masih bertahan sampai sekarang.
![]() |
Ki Manteb mengingat kejadian tersebut bermula dari rencana merayakan Hari Radio. Di saat bersamaan, wayang baru saja diakui UNESCO sebagai warisan mahakarya dunia yang tak ternilai dalam seni bertutur. Kala itu ia memainkan lakon Rahwana Gugur.
Selama mendalang, Ki Manteb sama sekali tak beranjak barang sejenak. Ia tidak buang air kecil dan tidak makan berat, hanya menyantap telur rebus yang sudah disiapkan. Di siang hari, ia meminum es teh, dan kopi setelah malam menjelang.
Di RRI Semarang yang menjadi lokasi pertunjukan, kata Ki Manteb, sudah disiapkan tiga orang dokter yang bergiliran menjaganya, masing-masing selama delapan jam.
"Setelah selesai [tampil], saya dicek oleh dokter, ia berkata 'Pak Manteb ini manusia setengah dewa'. Hampir setiap tiga jam sekali tekanan darah saya dicek dan tetap normal, dokter heran semua," tuturnya.
Bisa jadi ungkapan keheranan itu benar adanya. Kiprah Ki Manteb pun telah diakui oleh akademisi, antara lain oleh Jurusan Pedalangan Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta yang menggelarinya sebagai Empu Paripurna.
![]() |
Dosen Jurusan Pedalangan ISI Surakarta, Bagong Pujiono, menjelaskan bahwa ada tiga tingkatan gelar Empu. Yaitu Empu Muda, Empu Madya dan yang tertinggi, Empu Paripurna yang setara guru besar atau profesor.
"Gelar ini diberikan pada orang yang memiliki keahlian, di Jurusan Pedalangan ada Ki Manteb. Di jurusan lain ada juga yang diberi gelar Empu Paripurna," kata Bagong kepada CNNIndonesia.com.
Menurut Ki Manteb, ia sempat menolak penganugerahan gelar tersebut karena tak ingin besar kepala. Setelah dijelaskan, baru pria 71 tahun itu mau menerimanya. Ki Manteb menyebut beberapa kali ia mengajar mahasiswa.
Segala kesuksesan yang telah diraih terbukti tak mengubah siapa Ki Manteb. Menjadi dalang yang diakui dunia internasional, ia tetap memilih tinggal di desa. Mungkin, ia memang manusia setengah dewa yang membumi.
(adp/rea)
Halaman Selanjutnya >>>>
Bagikan Berita Ini