Eko Putro, dari Loper Koran di Amerika Jadi Menteri Desa
TOP TALKS
Yuli Yanna Fauzie, CNN Indonesia | Jumat, 04/10/2019 08:49 WIB
Jakarta, CNN Indonesia -- Puluhan tahun bekerja di perusahaan swasta, Eko Putro Sandjojo akhirnya terdampar menjadi menteri Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Pada 2016 lalu, ia diminta Presiden Jokowi membantunya untuk mempercepat pembangunan dan meningkatkan perekonomian masyarakat desa di seluruh Indonesia.Eko berhasil menduduki kursi menteri tersebut menggantikan Marwan Jafar yang terkena reshufle kabinet pada 2016 lalu. Ia menjadi menteri melalui 'jalur khusus' Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), tempatnya bergabung.
Sebelum menjadi menteri, ia pernah dekat dengan Presiden Jokowi. Maklum, ia merupakan anggota dari tim transisi yang dibentuk Jokowi-Jusuf Kalla untuk menyiapkan peralihan pemerintahan dari Susilo Bambang Yudhoyono- Boediono kepadanya.
Namun sebelum menduduki kursi empuk menteri yang sekarang ini, siapa sangka pria kelahiran Jakarta, 21 Mei 1965 itu ternyata pernah menjadi 'loper koran'. Pekerjaan tersebut ia lakoni ketika menempuh pendidikan di Amerika Serikat. Pekerjaan mengantar koran dilakukannya agar ia bisa mencukupi kebutuhan selama kulian di Negeri Paman Sam tersebut. Pekerjaan juga dilakoninya supaya kegemarannya jalan-jalan atau traveling tetap bisa tetap jalan.
Berkat kerja 'sampingannya' itu, Eko berhasil menyelesaikan studi hingga mendapat gelar Sarjana Elektro dari University of Kentucky di Lexington pada tahun 1991. Tak puas sampai di situ, ia melanjutkan pendidikan pascasarjana Master of Business Administration ke Institute Pengembangan Manajemen Indonesia (IPMI) di Jakarta.
Jauh sebelum gemilang dalam karir dan pendidikan, Eko ternyata pernah mendapat cap anak 'bandel'. Cap tersebut membuatnya kerap pindah sekolah di masa pendidikan menengah atas.
Padahal, Eko merupakan cucu dari ustad di salah satu kampung di Magelang, Jawa Tengah. Seperti apa kisah lengkap Eko Putro Sandjojo di masa lalu hingga kemudian bisa menjadi orang kepercayaan Jokowi?
[Gambas:Video CNN]
Berikut petikan wawancara khusus CNNIndonesia.com dengannya beberapa waktu lalu.
Sebelum berdiskusi lebih lanjut, bisa dijelaskan latar belakang masa kecil dan keluarga Anda?
Kakek saya hanya ustad di kampung di Magelang (Jawa Tengah). Orang tua saya anak ke-12 dari 12 bersaudara. Orang tua saya termasuk golongan menengah, tapi berasal dari keluarga miskin. Kebetulan orang tua saya sangat berjuang dalam bidang pendidikan.
Beliau dapat beasiswa di Yugoslavia. Saya pikir pendidikan itu yang membantu orang untuk bisa keluar dari kemiskinan. Saya beruntung karena Bapak saya sudah melepaskan diri dari kemiskinan. Upaya tersebut membuat saya bisa keluar negeri. Itulah, saya pikir sekolah adalah hal yang penting untuk dipunyai agar masa depan lebih baik.
Tapi sebelum menjadi seperti sekarang ini, saya sebenarnya anak 'bandel'. Saya jarang masuk sekolah. Saya beberapa kali pindah sekolah, dari SMA 11, pindah ke SMA 70, dan ke SMA 61. Tapi ternyata saya diterima di Politeknik UI yang kerja sama dengan Bank Dunia.
Di situ, ternyata saya juara satu hingga akhirnya bisa sekolah di Amerika tanpa tes. Saya kuliah jurusan Electrical Engineering, lalu mengambil master (program pascasarjana) di jurusan Finance di University of Kentucky di Lexington (Amerika Serikat).
Saat di Amerika, saya dapat beasiswa US$500 per bulan. Tapi saya tidak dikasih uang saku oleh orang tua saya. Itu tidak cukup. Jadi saya antar koran selama empat tahun. Saya juga membetulkan spare part mobil mahasiswa (Indonesia) yang dapat beasiswa, tapi anak orang kaya. Jadi saya bengkel berjalan selama empat tahun itu juga.Lalu bagaimana perjalanan karir Anda selepas kuliah hingga akhirnya menjadi menter?
Setelah lulus, saya sempat mengajar dan kerja di Singapura dan Malaysia, sampai akhirnya balik ke Indonesia sekitar 1996. Di Singapura dan Malaysia, dengan background (latar belakang) saya lulusan elektro, saya bekerja di perusahaan elektronika, seperti merakit telepon, walkman, pakai mereknya General Electric dan Thomson-Houston.
Setelah itu, mungkin karena saya punya gelar master di finance, saya waktu itu masuk juga ke perusahaan perunggasan. Saya diminta untuk perbaiki perusahaan. Sejak saat itu saya lebih banyak berkarir di perusahaan komoditas dan perunggasan.
Terakhir saya menjadi Presiden Director di PT Sierad Produce Tbk. Setelah itu, jelang reshuffle (kabinet), partai mungkin diminta untuk mengajukan calonnya dan yang diajukan saya, jadilah saya diterima menjadi menteri desa menggantikan rekan saya (Marwan Jafar, politikus Partai Kebangkitan Bangsa).
Jabatan Menteri Desa dan PDTT merupakan yang pertama bagi Anda di bidang pemerintahan kan, lalu adakan perbedaan mendasar ketika menjadi menteri dibanding bekerja di perusahaan?Yang saya perhatikan ketika awal jadi menteri, teman-teman di birokasi sebenarnya bagus. Etos kerja dan kemauan mereka untuk berbuat terbaik bagi bangsa tinggi sekali. Mereka ada yang memiliki pendidikan S3 dan S2.Tapi saya perhatikan, mereka tidak punya pengetahuan dasar accounting (akuntansi), padahal mereka adalah kepala satuan kerja yang harus mempertanggungjawabkan laporan keuangannya. Kemudian mereka secara manajemen, leadership (kepemimpinan) dan marketing (pemasaran) kurang.
Makanya saya masukan mereka ke (program) Weekend Business School, dari HIPMI Business School kerja sama dengan Harvard. Hasilnya cukup baik. Yang tadinya kami 2014 audit (laporan keuangan kementerian) disclaimer (ditolak). Lalu, 2015 jadi WDP (Wajar dengan Pengecualian). Setelah saya sekolahkan, tiga tahun berturut-turut menjadi WTP (Wajar Tanpa Pengecualian).
Penyerapan anggaran juga naik dari 69 persen ke 94 persen. Tata kelola arsip naik dari ranking 32 jadi 5 (dibandingkan kementerian lain di Kabinet Kerja). Pelayanan publik dan kepatuhan yang dirating oleh Ombudsman itu naik dari ranking 82 jadi 3. Memang prioritas utama dalam sebuah organisasi, aset terpentingnya adalah manusia. (agt)
Halaman Selanjutnya >>>>
Bagikan Berita Ini