Jitu Jadi Investor Fintech Peer to Peer Lending
Jakarta, CNN Indonesia -- Layanan keuangan digital (financial technology/fintech) menjadi fenomena baru di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Sebagai pemain baru, fintech menawarkan banyak layanan.Bank Indonesia (BI) sendiri membagi jenis fintech menjadi empat kategori. Pertama, peer to peer lending dan crowdfunding, yaitu fintech yang mempertemukan pencari pinjaman dengan pemberi pinjaman.
Kedua, market aggregator, yaitu fintech yang mengumpulkan informasi layanan keuangan. Ketiga, fintech manajemen risiko dan investasi yang menyediakan layanan perencanaan keuangan digital.
Keempat, fintech payment, clearing, dan settlement yang memberikan pinjaman. Dari seluruh layanan fintech tersebut, fintech peer to peer lending menjadi jenis yang paling familiar di masyarakat.
Sayangnya, fintech yang menawarkan layanan pinjam meminjam ini kerap kali dikaitkan dengan kabar soal status mereka yang ilegal. Padahal peer to peer lending bisa menjadi alternatif instrumen investasi dengan imbal hasil cukup menggiurkan.Perencana Keuangan dari OneShildt Financial Planning Budi Raharjo menuturkan investasi di peer to peer lending serupa dengan instrumen deposito. Masyarakat menempatkan uang dan mendapatkan pengembalian dalam bentuk bunga.
Perbedaannya, sambung dia, deposito memiliki lembaga perantara kreditur dan debitur yakni bank. Sedangkan peer to peer lending menyediakan koneksi langsung antara kreditur dan debitur.
Tugas perbankan dalam melakukan verifikasi pada setiap pengajuan kredit dilakukan oleh pihak penyedia peer to peer lending.
"Peer to peer adalah sebuah platform di dalamnya ada orang ahli yang melakukan verifikasi yang diperlukan bagi orang untuk pinjam uang," katanya kepada CNNIndonesia.com.Karakteristik peer to peer lending tanpa lembaga perantara, justru menambah beberapa keunggulan. Dari sisi keuntungan, investor menerima imbal hasil (return) secara utuh. Jika rata-rata bunga deposito bank sebesar 5 persen sampai 6 persen, maka peer to peer lending bisa menawarkan imbal hasil hingga 2-3 kali lipat dari bunga deposito.
Imbal hasil yang tinggi tersebut terjadi karena investasi peer to peer lending memiliki risiko yang lebih tinggi ketimbang deposito bank. Istilah high risk, high return berlaku dalam investasi peer to peer lending.
Namun, bukan berarti risiko itu tidak bisa disiasati. Budi menyebut setidaknya ada dua risiko yang harus disiasati oleh investor peer to peer lending, yakni risiko likuiditas dan gagal bayar (default).
[Gambas:Video CNN]
Risiko likuiditas muncul lantaran karakteristik penempatan uang pada peer to peer lending memiliki tenor tertentu. Dalam kurun waktu itu, investor tak bisa mencairkan dananya.
Ini berbeda dengan penempatan uang di deposito. Meski ditempatkan di bank untuk jangka waktu tertentu, investor bisa menarik uangnya dalam keadaan mendesak.
"Jadi pastikan dana yang ditempatkan di peer to peer lending adalah dana menganggur serta tidak dibutuhkan selama jangka waktu pinjaman," tuturnya.
Sementara itu, risiko gagal bayar pada peer to peer lending menjadi tanggungan investor. Lain halnya perbankan yang telah menjaminkan dananya kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Dengan demikian, jika didapati kasus gagal bayar maka akan menjadi tanggung jawab bank. Namun demikian, bukan berarti risiko itu tidak bisa dihindari.Penyedia fintech peer to peer lending telah melakukan verifikasi terlebih dulu kepada calon debitur mengenai seluk beluk bisnis debitur. Selanjutnya, debitur mendapatkan peringkat kredit sesuai dengan risiko kreditnya.
Makin tinggi risiko kreditnya, maka imbal hasil yang ditawarkan juga makin menarik. Informasi peringkat kredit itu tersebut bisa dilihat oleh calon kreditur sebelum memilih debiturnya.
Salah satu contoh peer to peer lending di Indonesia adalah Amartha yang menyalurkan pinjaman kepada sektor UMKM. Amartha memberikan informasi meliputi plafon pendanaan, rating debitur, margin, dan tenor kepada krediturnya.
Amartha juga memberikan pilihan sektor bisnis kepada calon kreditur. Dengan demikian calon kreditur bisa menyesuaikan pendanaan kepada sektor pilihannya.Seluruh informasi tersebut, disampaikan melalui website Amartha.
"Jadi perlu ada menajemen risiko penempatan dana di instrumen peer to peer lending," katanya.
Perencana keuangan Zelts Consulting Ahmad Gozali mengamini jika investasi pada peer to peer lending memberikan imbal hasil yang menarik. Namun, ia berpesan agar calon investor berhati-hati dalam menganalisa risiko masing-masing investasi.
Mereka juga diimbau menimbang kesesuaian imbal hasil dengan risikonya melalui daftar proyek. Ia menyebut imbal hasil peer to peer lending bisa mencapai 15 persen - 20 persen dalam satu tahun.
Bahkan, pada beberapa fintech angkanya lebih tinggi. "Peer to peer lending menawarkan hasil yang jauh lebih tinggi dibanding investasi pada umumnya karena skemanya adalah kita sebagai pendana memilih sendiri proyek atau usaha yang akan kita biayai dan perusahaan peer to peer lending hanya mengambil komisi yang sangat rendah," jelasnya.Ia bilang peer too peer menarik lantaran pajak penghasilan (PPh) lebih rendah dibandingkan instrumen investasi lainnya. Pasalnya, pajak imbal hasil peer to peer lending masuk dalam perhitungan pajak penghasilan pada umumnya. Kewajiban perpajakan disesuaikan dengan pendapatan investor sebagai wajib pajak.
Sebagai perbandingan, PPH deposito sebesar 20 persen untuk tabungan di atas Rp7,5 juta. "Makin tinggi risiko peminjaman uang, makin tinggi pula hasil yang ditawarkan," katanya.
Ia menyarankan investor bisa mulai dengan dana minimum ketika mulai investasi di peer to peer lending yakni di kisaran ratusan ribu. Mereka juga diimbau untuk menanamkan modalnya pada fintech peer to peer lending resmi yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
"Investor juga bisa melakukan diversifikasi risiko dengan cara menyebar dana pada beberapa proyek atau peminjam sekaligus," tuturnya.
(agt)Halaman Selanjutnya >>>>
Bagikan Berita Ini