EKONOMI lesu, rupiah kian loyo menghadapi dolar Amerika, harga-harga melambung, BBM juga naik, daya beli semakin lemah, itulah realitas yang terjadi saat ini. Duit susah dicari dan harga bahan pokok melesat naik, membuat warga terutama ibu rumah tangga, harus pandai-pandai mengatur uang belanja.
Efek domino dari lesunya perekonomian dirasakan oleh berbagai kalangan, mulai dari pengusaha hingga rakyat jelata. Jalan satu-satunya, ya kencangkan ikat pinggang. Bagi pelaku usaha, mengantisipasi kenaikan cost of fund (CoF) adalah dengan cara dibebankan kepada konsumen alias menaikkan harga, atau mengurangi margin keuntungan.
Tapi bagi rakyat, satu-satunya cara terpaksa mengencangkan ikat pinggang. Mau tidak mau pengeluaran ditekan, termasuk belanja kebutuhan dapur pun dikurangi, meski konsekuensinya mungkin bisa kekurangan gizi.
Rakyat kini terpaksa menghemat. Tapi bukan mengikuti pepatah ‘hemat pangkal kaya’, melainkan betul-betul harus menekan pengeluaran. Saking hematnya, pegawai yang biasanya makan di luar, kini banyak yang bawa rantang alias bawa bekal masakan istri. Lebih hemat.
Imbasnya, warteg juga jadi kelimpungan. Sudah harga bahan pokok mahal, pelanggan juga berkurang. Padahal harga makanan tidak dinaikkan. Cuma porsinya saja dikurangi, misalnya ukuran tempe goreng main mini, atau sambal jadi kurang pedas. Sebagai pelaku usaha, bos warteg juga paham bisnis, rela mengurangi margin supaya konsumen tidak lari. Tapi tetap saja pelanggan berkurang lantaran berhemat.
Pendek kata, masyarakat dari berbagai kelas kini harus punya jurus berhemat, terus mengencangkan ikat pinggang. Sampai kapan? Tanyalah pada rumput yang bergoyang, atau sampai betul-betul ramping. -Irda
http://poskotanews.com/2018/10/13/pinggang-makin-ramping/Bagikan Berita Ini