Ma'ruf Amin: Santri 'Milanisti' yang Nyaris Jadi Polisi

CNN Indonesia | Sabtu, 19/10/2019 10:52 WIB
Jakarta, CNN Indonesia -- Usianya sudah tidak muda. Sudah 76 tahun pada 2019 ini. Namun Ma'ruf Amin masih terlihat energik ketika mengikuti rangkaian kampanye Pilpres 2019. Seolah tiada lelah, senyum masih selalu ia pancarkan ketika keliling sejumlah daerah sebagai cawapres dari Joko Widodo.Baju koko putih dipadu peci hitam dan sarung jadi ciri khasnya. Meski tak segesit waktu muda, namun kebugaran tubuhnya masih tampak terjaga.
Seperti terlihat pada akhir Desember 2018 lalu. Bertempat di kediaman pribadinya, Jalan Situbondo, Menteng, Jakarta Pusat, Ma'ruf duduk di kursi dan bercerita tentang kegemarannya terhadap sepak bola sewaktu muda.
Ma'ruf kecil punya hobi yang sama dengan mayoritas laki-laki di Indonesia sejak dulu, yakni sepak bola. Ma'ruf sendiri mengaku sebagai seorang yang 'Gibol' atau Gila Bola sejak masih kecil.
Dia merupakan fans berat AC Milan. Terutama era akhir 1980-an hingga pertengahan 1990-an. Sebagai Milanisti (sebutan bagi fans AC Milan), Ma'ruf tentu mengidolai trio Belanda: Ruud Gulit, Frank Rijkaard, dan Marco Van Basten.
Memang kala itu, bersama trio ini, AC Milan tak hanya merajai Serie A Italia, tetapi juga Eropa. Banyak tropi masuk ke lemari I Rosonerri (julukan AC Milan) di era 'dream team' ini.
"Saya menyukai AC Milan. Sejak dulu zaman trio Belanda, ada [Ruud] Gullit, [Frank] Rijkaard, [Marco] van Basten," ujar Ma'ruf.
Meski kini sudah tidak muda lagi, bukan berarti Ma'ruf tak mengikuti perkembangan klub kesayangannya itu. Menurutnya, AC Milan yang sekarang bukan AC Milan yang dulu.Sejak beberapa tahun terakhir 'si merah hitam' sedang kepayahan. Alih-alih merajai Eropa, AC Milan justru tertinggal jauh dari pesaingnya seperti Juventus.
Karena masalah prestasi itu, Ma'ruf kini mulai berpaling ke Liga Inggris. Dia punya dua klub yang digemari, yakni Manchester United dan Manchester City. Aneh memang, mengingat kedua klub merupakan rival sekota sekaligus musuh bebuyutan, dan para pendukungnya saling tak suka satu sama lain.
Tapi berbeda dengan Ma'ruf. Baginya United dan City tetap klub yang diisi pemain-pemain kelas dunia. Skuat kedua kesebelasan punya segalanya untuk meraih tropi.
"Jadi sekarang saya senang dengan dream team yang kuat dan dream team seperti Manchester United dan Manchester City," kata Ma'ruf.
Ma'ruf memang pecinta bola. Sejak kecil dulu, dia hobi sekali bermain si kulit bundar bersama teman sebaya. Seperti yang ditulis Iip Yahya dalam bukunya 'KH Ma'ruf Amin: Santri Kelana Ulama Paripurna'. Iip menyebut bahwa hobi bermain bola Ma'ruf makin tersalurkan saat menimba ilmu di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur.
Tak ada kegemaran khusus ketika Ma'ruf masih kecil. Ia bermain seperti biasanya permainan yang dilakukan anak-anak desa pada umumnya. Hanya memang Ma'ruf lebih menyukai permainan yang melibatkan banyak anak dan ada unsur organisasinya seperti sepak bola.
Ma'ruf mengatakan lebih jauh, bahwa bakatnya di lapangan rumput semakin teruji tatkala berjumpa dengan sesama santri yang jago main bola. Lawan mainnya yang sepadan adalah Gus Shohib Bisri, putra dari pendiri Pondok Pesantren Denanyar, Jombang Kiai Bisri Syansuri. Jika keduanya sudah bertemu di lapangan, maka pertandingan sepak bola pun menjadi sangat seru.
Hobi bermain sepak bola Ma'ruf pun berlanjut. Saat dirinya pulang kampung ke Banten di tengah liburan pesantren, Ma'ruf selalu menjumpai kawan-kawan satu permainannya yang sama-sama hobi bermain bola. Mereka pun lantas bermain dan bertandang ke kampung atau desa lain yang siap menerimanya untuk bertanding sepak bola."Saya suka berada di posisi penyerang atau striker," kata Ma'ruf.
Besar di Lingkungan NU
Ma'ruf lahir pada 11 Maret 1943 di Desa Kresek, sebuah desa kecil di Kabupaten Tangerang, Banten yang dilintasi jalur Jakarta-Merak. Ia merupakan anak semata wayang dari pasangan Muhammad Amin dan Maimunah.
Kelahiran Ma'ruf bertepatan saat Kampung Kresek kedatangan penjajah Jepang di Indonesia yang baru saja mengalahkan Belanda. Jepang sebelumnya mendarat di Teluk Banten, bersamaan dengan pendaratan di wilayah Eretan Cirebon 1 Maret 1942.
Dalam buku KH Ma'ruf Amin : Penggerak Umat, Pengayom Bangsa, Arif Punto Utomo menulis, sang Ayah sudah menyiapkan nama terbaik bagi sang buah hatinya. Ma'ruf bayi diberi nama Ma'ruf Al-Kharki.
Pemberian nama itu mengandung harapan besar bagi sang ayah untuk Ma'ruf. Sang Ayah berharap anak semata wayangnya itu mampu menjadi ahli sufi seperti ahli sufi dari Irak bernama Abu Mahfudz bin Firus Al Kharki.
Akan tetapi, nama belakang Al-Kharki tak sempat bergema di Desa Kresek tempat Ma'ruf kecil tinggal. Bahkan, nama belakang itu pun tak pernah tertulis dalam setiap dokumen legal yang mencatat nama lengkap Ma'ruf.Seiring berjalannya waktu, nama lengkap Ma'ruf justru memakai nama belakang ayahnya yang sangat dihormatinya, Amin. Jadilah dia selalu memakai nama Ma'ruf Amin. Mulai dari ijazah Sekolah Dasar hingga Madrasah sampai saat ini, nama yang melekat adalah Ma'ruf Amin.
Ma'ruf tumbuh dewasa dalam tradisi NU. Ayahnya memiliki Pondok Pesantren di daerah Koper, Tangerang. Tak hanya itu, Ma'ruf sendiri memiliki darah keturunan kiai besar dari Banten. Kakeknya bukan sembarang kiai. Banyak kiai-kiai Nusantara dulu sempat berguru pada kakeknya.
Shohibul Ulum dalam bukunya 'Kiai Ma'ruf Amin, Menyelami Jejak Pemikiran Sang Politisi, Pemikir dan Ulama Besar mengatakan Ma'ruf adalah cicit dari ulama besar Syeikh Nawawi al-Bantani.
Syeikh Nawawi al-Bantani sendiri memiliki rekam jejak sebagai ulama besar yang dipercaya mengajar agama Islam di Mekkah dan pernah menjadi Imam Besar Masjidil Haram di Mekkah. Syeikh Nawawi juga tercatat masih keturunan Sultan Banten.
Lebih jauh, nama Syeikh Nawawi turut disebutkan dalam Kamus Besar Bahasa Arab Al Munjid. Di kamus itu, hanya ada dua orang Indonesia yang disebutkan, yaitu An Nawawi dan Sukarno, Presiden pertama RI. Lengkap sudah bagi Ma'ruf, sebagai keturunan ulama tersohor, keturunan Sultan Banten pula. (rzr/osc)
1 dari 2
Halaman Selanjutnya >>>>
Bagikan Berita Ini