Setahun Tsunami Palu: Rumah Tenggelam dan Api dalam Tanah
Jakarta, CNN Indonesia -- Muhammad As'ad urung mengambil air wudu jelang Magrib ketika dinding di kanan kirinya mendadak bergetar hebat. Suara gemuruh bercampur teriakan dari luar rumah terdengar,"Gempa, ada gempa!"
As'ad yang saat itu tengah bersama kakaknya langsung berlari keluar. Di hadapannya tanah sudah setinggi atap. Hanya selang sedetik setelah ia keluar, rumahnya amblas.
"Jalanan bak ombak di pantai, bergelombang. Rumah-rumah, bangunan, tenggelam semua, kondisinya seperti diblender," ungkap As'ad.
Ia berlari menjauh dengan berpindah dari satu atap ke atap lain yang bergerak sendiri. As'ad tak tahu seberapa jauh dirinya berlari.
Kala itu dirinya tak hanya berpacu dengan goncangan tanah yang bergelombang, tapi juga kobaran api yang mendadak muncul dari dalam tanah. "Dikejar api kita langsung terbawa ke bawah, rasanya cepat sekali," tuturnya.
Dalam sekejap, Perumnas Balaroa yang berada di Kota Palu, Sulawesi Tengah itu rata dengan tanah.
Kini 28 September 2019 tepat setahun sudah peristiwa gempa yang menghancurkan rumah As'ad. Reruntuhan bekas bangunan yang hancur karena gempa masih berserakan di lahan yang dulunya menjadi tempat tinggal As'ad dan ribuan warga Balaroa.
Bahkan beberapa bangunan rumah yang setengah hancur terlihat masih berdiri meski tak lagi tegak. Konon, rumah itu awalnya tak ada di posisi tersebut. Namun karena gempa dan fenomena likuifaksi yang terjadi membuat banyak bangunan rumah di Balaroa bergeser hingga belasan kilometer.
Benda-benda yang lazim di dalam rumah pun tampak berserakan, mulai dari televisi, lemari, meja, hingga pajangan boneka meski bentuknya tak lagi utuh.
Saat CNNIndonesia.com bersama dengan Wahana Visi Indonesia (WVI) mengunjungi lahan bekas Perumnas Balaroa beberapa waktu lalu, As'ad tengah duduk di atas sepeda motor yang diparkir di depan puing-puing bangunan rumahnya. Jika luang, pria berusia 35 tahun itu memang sengaja menyambangi lahan bekas rumahnya.
Meski membawa kenangan pahit, As'ad menyebut peristiwa itu sebagai ingatan yang tak pernah ia lupa. Ia termasuk beruntung karena keluarganya selamat dari bencana tersebut.
Balaroa memang salah satu wilayah yang terdampak gempa cukup parah di Kota Palu pada 28 September 2018. Dari keterangan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), kondisi itu terjadi karena proses likuifaksi atau pencairan tanah yang timbul karena hilangnya kekuatan tanah.
Tanah Balaroa yang fluktuatif menjadi pemicu 'gelombang' atau tanah naik turun hingga menenggelamkan rumah yang ada di atasnya.
BNPB telah menyatakan bahwa Kelurahan Balaroa tak akan lagi menjadi permukiman. Pasalnya, wilayah itu masuk dalam zona merah atau terlarang karena masuk kawasan yang terkena likuifaksi.
Kondisi serupa juga terjadi di Kelurahan Petobo, Kota Palu. Gempa dan proses likuifaksi menenggelamkan ribuan rumah di kawasan tersebut. Pohon kelapa yang semula tak ada pun kini berdiri tegak di kawasan Petobo.
Dari hasil pengamatan CNNIndonesia.com, puing-puing bangunan yang hancur akibat gempa pun masih ada di lokasi. Jalanan menuju salah satu wilayah di Petobo juga masih nampak terbelah. Menurut warga sekitar, masih banyak korban tewas yang tertimbun di dalam puing bekas bangunan.
Hal itu tak berbeda jauh dengan Balaroa. As'ad menyebut masih banyak korban tewas tertimbun yang merupakan warga di Perumnas Balaroa. Ia sendiri kecewa karena setahun berlalu tak ada tindakan dari pemerintah setempat untuk membereskan bekas lahan yang terdampak gempa dan likuifaksi tersebut. Bahkan wali kota Palu disebutnya tak pernah sekali pun menginjakkan kaki di Balaroa.
"Tidak ada sama sekali dari pemkot, wali kota juga ndak pernah. Sampai sekarang ya begitu terus, enggak tersentuh," tutur As'ad.
Bantuan hunian rumah sementara (huntara) yang dijanjikan pemerintah juga dinilai As'ad tak jelas. Pria yang sehari-hari bekerja sebagai teknisi di bengkel ini justru mendapat bantuan huntara dari Nadhlatul Ulama (NU) yang berjarak sekitar satu kilometer dari Perumnas Balaroa sejak awal tahun ini.
Ia berharap pemerintah segera membereskan bekas reruntuhan di Balaroa dan menepati janji untuk memberi bantuan pada warga yang terdampak.
"Semoga pemerintah terbuka hatinya melihat para korban," ucapnya. (pris/asa)
Halaman Selanjutnya >>>>
Bagikan Berita Ini