Search

Pahit Manis Sejarah Perjuangan Politik PDIP

Pahit Manis Sejarah Perjuangan Politik PDIP

CNN Indonesia | Kamis, 08/08/2019 07:20 WIB

Jakarta, CNN Indonesia -- Pahit dan manis dalam pertarungan politik telah dirasakan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) selama puluhan tahun sejak bernama PDI --tanpa label 'perjuangan'. 

Berbagai macam situasi atau posisi pun telah dicicipi partai berlambang kepala banteng itu mulai dari perpecahan di internal, menjadi oposisi, hingga penguasa.

Semua cerita berawal ketika Orde Baru ingin menyederhanakan partai politik (parpol) melalui proses penggabungan atau fusi dari parpol di masa Orde Lama. 

Gagasan fusi parpol pertama kali dilontarkan pada 7 Januari 1970. Saat itu Presiden Soeharto memanggil sembilan pimpinan partai politik untuk berkonsultasi secara kolektif. Dalam pertemuan konsultasi tersebut, Soeharto melontarkan gagasan pengelompokan partai politik.

Setelah melalui serangkaian proses yang panjang dan alot, sebanyak lima parpol yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katolik, Partai Murba, dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia) (IPKI) sepakat melebur menjadi satu dengan nama Partai Demokrasi Indonesia (PDI), 10 Januari 1973.

PDI menggelar musyawarah nasional (munas) pertama pada 20 hingga 24 September 1973. Namun, tak ada hasil signifikan yang dicapai dalam Munas tersebut. Bahkan, keinginan untuk menggelar Kongres I PDI tak kunjung terlaksana dan terus tertunda akibat konflik internal.

Kongres I PDI akhirnya diselenggarakan pada 12 hingga 13 April 1976. Aroma intervensi pemerintah pada kongres itu sangat kuat. Terbukti, Pemerintah memplot

Pahit Manis Sejarah Perjuangan Politik PDIPPresiden Joko Widodo di Rakernas PDIP tahun lalu. (Screenshot via Twitter/@PDI_Perjuangan)
yang kemudian dipilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum (Ketum) DPP PDI.

Lima tahun berselang, Kongres II PDI diselenggarakan tepatnya pada 13 hingga 17 Januari 1981. Campur tangan pemerintah juga masih terlihat di kongres tersebut, bahkan semakin kuat. 

Setelah itu, Kongres III PDI diselenggarakan sebelum Pemilu 1987, tepatnya pada tanggal 15 hingga 18 April 1986. Kongres ini semakin menegaskan sangat tergantungnya PDI pada pemerintah.

Kongres III PDI akhinya gagal dan menyerahkan penyusunan pengurus kepada Pemerintah.

Konflik internal terus berlanjut sampai dilaksanakannya Kongres IV PDI di Medan, Sumatera Utara pada 21 hingga 25 Juli 1993.

Dalam Kongres tersebut muncul beberapa nama calon Ketum DPP PDI antara lain Soerjadi, Aberson Marle Sihaloho, Budi Hardjono, Soetardjo Soerjogoeritno, dan Tarto Sudiro. Muncul pula nama Ismunandar yang merupakan Wakil Ketua DPD DKI Jakarta.

Budi Hardjono saat itu disebut-sebut sebagai kandidat kuat yang didukung pemerintah. Tarto Sudiro maju sebagai calon ketum yang mendapatkan dukungan penuh dari Megawati Soekarnoputri. 

Saat itu posisi Megawati belum bisa tampil mengingat situasi dan kondisi politik masih belum memungkinkan.

Akhirnya, Soerjadi yang merupakan calon petahana kembali terpilih secara aklamasi sebagai Ketum DPP PDI. Namun, belum sampai penyusunan kepengurusan suasana kembali ricuh karena demonstrasi yang dipimpin Jacob Nuwa Wea berhasil menerobos masuk ke arena Kongres.

Kondisi demikian membuat pemerintah mengambil alih melalui Mendagri Yogie S. Memed dan mengusulkan membentuk caretaker. Dalam rapat formatur yang dipimpin Latief Pudjosakti Ketua DPD PDI Jatim pada tanggal 25 hingga 27 Agustus 1993 akhirnya diputuskan susunan resmi caretaker DPP PDI.

Berlanjut ke halaman berikutnya...

[Gambas:Video CNN] (mts/ugo)

1 dari 2

Let's block ads! (Why?)

Halaman Selanjutnya >>>>




Bagikan Berita Ini
Powered by Blogger.