Kisah Gerilya Penerbit Bumi Manusia Diancam Tuduhan Subversif
Jakarta, CNN Indonesia -- "Saat itu sering diancam akan diculik, dipenjara, karena dianggap subversif. Itu biasa," kata penulis sekaligus penerbit Mujib Hermani dengan santai, saat berbincang dengan CNNIndonesia.com di suatu siang di Jakarta, beberapa waktu lalu.Mujib adalah penulis yang juga anggota dari penerbit karya Pramoedya Ananta Toer, Hasta Mitra. Penerbit itu sendiri didirikan tiga sekawan Pramoedya Ananta Toer, Hasyim Rahman dan Joesoef Ishak sekitar awal 1980.
Hasta Mitra tercatat pertama kali menerbitkan Bumi Manusia pada Agustus 1980. Kala itu setiap bulan, mereka mencetak ulang novel mahakarya Pramoedya Ananta Toer tersebut.
Hingga cetakan kelima pada Februari 1981 jadi terbitan terakhir sebelum pemerintah melarang peredaran buku tersebut.
Pemerintah Indonesia melarang peredaran karya Pramoedya Ananta Toer selama di Pulau Buru melalui Surat Edaran Nomor 73106/Sekjen PDK/1980 tertanggal 27 September 1980, yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Larangan itu kemudian dipertegas oleh Surat Keputusan Kejaksaan agung Nomor: Kep-052/JA/1981 tanggal 29 Mei 1981 yang menyatakan bahwa buku Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa terlarang beredar di seluruh wilayah Indonesia.
Selama masa pelarangan, Mujib bersama teman-teman lain harus ekstra hati-hati ketika menerima pesanan buku Pram. Mereka bahkan harus bergerak 'di bawah tanah' termasuk menggunakan nama samaran ketika bertransaksi dengan pembeli.
Mujib dan kawan-kawan saat itu hanya menerima pesanan dari orang yang mereka kenal. Meski kenal, mereka tetap harus berhati-hati sebab risiko mendekam di penjara berada di depan mata.
"Harus jelas siapa yang beli. Kalau enggak kenal, tidak mau. Misalnya pas janjian di halte, bukunya dibungkus koran dan disimpan di tempat lain dulu. Temuin dulu orangnya baru kasih bukunya," cerita Mujib.
![]() |
Aktivis menjadi pembeli awal sekaligus pembuka pintu penjualan buku saat momen pelarangan itu. Para aktivis yang Mujib cs kenal ini lah yang menjadi perantara buku tersebut beredar di bawah tangan.
Namun serapat-rapatnya bergerak secara senyap, kelakuan mereka pun tercium aparat. Sejumlah rekan Mujib seperti Bambang Isti Nugroho, Bonar Tigor Naispospos serta Bambang Subono harus dipenjara atas tuduhan menyebarkan novel-novel Pram.
Meski diam-diam dan dihantui ancaman penjara, penjualan novel Pramoedya Ananta Toer tak pernah sepi. Setiap pesanan dan cetakan yang beredar nyatanya telah memberi makan dirinya juga para aktivis lainnya.
Situasi mulai berubah ketika jelang awal 2000-an seiring dengan kejatuhan Orde Baru. Para penjual serta pembaca novel-novel Pram tak perlu lagi bergerak dalam gelap. Hal ini terbukti dengan pencatatan kembali pencetakan keenam pada Oktober 2000.
Bahkan, memasuki masa reformasi, menggenggam karya Pram malah menjadi suatu kebanggaan tersendiri. Orang pun silih berganti datang untuk membantu penerbitan Bumi Manusia.
![]() Potret Pramoedya Ananta Toer saat sedang bekerja menciptakan karya sastranya. (Dok. Pribadi Pramoedya Ananta Toer) |
Namun kebebasan itu tak bertahan lama. Sekitar 2010-an, sejumlah buku kembali dilarang dijual bebas, termasuk novel-novel Pram. Larangan itu mendorong aktivis mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi.
MK kala itu diharapkan bisa mencabut Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-Barang Cetakan yang Isinya Mengganggu Ketertiban Umum.
Aturan ini yang seringkali digunakan untuk memberedel buku tanpa melewati proses pengadilan. Selain itu, juga membuat jaksa agung berwenang melarang peredaran buku tertentu, seperti yang dianggap kiri atau berhaluan komunisme.
Mahkamah Konstitusi yang kala itu dipimpin oleh Mahfud MD pun mencabut Undang-undang tersebut.
"Menyatakan Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum....bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945," kata Mahkamah Konstitusi dalam amar putusan, 13 Oktober 2010, yang tertuang dalam Putusan Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010.
Akan tetapi, buku masih dapat dicabut selama pihak Kepolisian dan Kejaksaan dapat menyidik dan menuntut penulis atau pun penerbit buku yang dianggap mengganggu ketertiban umum. Selain itu, hanya pengadilan yang berhak memvonis pelarangan buku beredar.
Hal itu yang membuat karya-karya Pram saat ini bisa dinikmati masyarakat luas. Bumi Manusia serta Perburuan contohnya. Kedua karya sastra Pram ini bahkan diangkat ke layar lebar bersamaan pada 15 Agustus 2019.
"Saya pasti akan menonton. Meski memang melihat karya sastra film dan novel pasti berbeda. Tapi saya akan tetap menonton Bumi Manusia," kata Mujib.
[Gambas:Video CNN] (chri/end)
Halaman Selanjutnya >>>>
Bagikan Berita Ini